0
komentar
Bencana akibat erupsi Merapi memang sudah berlalu, tetapi ancaman banjir lahar dingin sampai hari ini terus menghantui. Pada situasi seperti sekarang ini, ”handy talky” atau HT ternyata masih tetap penting. Bukan sekadar untuk menginformasikan kondisi Merapi, HT lebih untuk saling berbagi, bersosialisasi, dan membina solidaritas sosial antarwarga.
Coba simak percakapan lewat perangkat komunikasi komunitas ini pada suatu hari:
”Kontek…kontek. Kalau nganggur, saya harap datang ke rumah…. Aku minta bantuan membersihkan rumah…. Ganti”
”Korek dikopi. Oke aku datang. Siap meluncur….”
Atau berikut ini:
”Aku butuh air, mau cari pinjaman mobil tangki, sekarang operasional di mana ya? Kasihan warga nanti tidak bisa minum…. Ganti….”
”Korek…. Kamu bisa menghubungi unit mobil PU (Pekerjaan Umum)…. Atau ke kelurahan, tanya mobil tangkinya sedang operasi di mana…. Gitu ganti…..”
Percakapan semacam itu kini sangat lazim di kalangan warga bila kita membuka gelombang- gelombang HT milik warga lereng Merapi. Ya, HT yang semula berfungsi untuk memonitor perkembangan teknis dan visual Gunung Merapi, kini menjadi alat komunikasi yang sifatnya memberdayakan warga.
Mulai dari informasi soal kerja bakti, undangan gotong royong, bahkan membicarakan bagaimana warga harus bersikap dalam mengatasi derita akibat letusan Merapi dan banjir lahar dingin.
HT bahkan seperti sudah menggantikan fungsi komunikasi tradisional kentongan yang sangat efektif saat Merapi meletus November 2010 lalu. HT bukan lagi barang mewah, te- tapi sudah menjadi barang kebutuhan.
Hampir semua warga Merapi, seperti di desa-desa di Kecamatan Cangkringan, Kaliurang, dan Turi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, bahkan juga di Kecamatan Dukun, Srumbung, Muntilan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, memiliki HT. Hebatnya lagi, hampir semua HT tersebut dibeli atas dana swadaya masyarakat meski ada sebagian bantuan dari donatur.
Inilah bentuk swadaya yang luar biasa dari masyarakat seputaran lereng Merapi dalam menjaga diri atas bencana Merapi. Meskipun harga HT relatif mahal, sekuat tenaga warga berusaha memiliki karena dari benda itulah warga seperti bisa menitipkan nasib hidupnya. Dari situ pula, informasi tentang kondisi Merapi cepat diperoleh.
”Pada letusan Merapi yang dulu-dulu, pesawat HT memang belum banyak. Namun, setelah letusan dahsyat Merapi, kepemilikan HT di desa kami meningkat. Mungkin 50 persen masyarakat di desa kami mempunyai HT,” kata Bejo, warga Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan.
Memang, semula HT ini digunakan warga untuk memonitor perkembangan Merapi dari stasiun induk di Balerante maupun Turgo Asri. Dari dua stasiun induk HT itulah, warga mendapatkan informasi tentang perkembangan teknis dan visual menyangkut kondisi Merapi. Namun, kini warga tidak selalu harus memancarkan HT-nya ke Turgo Asri atau Balerante. Banyak warga yang membentuk kelompok-kelompok kecil dan membuat gelombang sendiri.
Dalam kelompok-kelompok kecil tersebut, mereka saling berkomunikasi sambil tetap memonitor induk Balerante dan Turgo Asri. Di dalam kelompok-kelompok kecil itulah terjadi musyawarah yang lebih detail dan operasional bagaimana mereka bersikap menghadapi banjir lahar dingin misalnya.
”Besok ada kerja bakti, siapa yang memiliki karung-karung pasir untuk membendung daerah-daerah yang terkena banjir lahar dingin selalu terjawab. Bahkan ada orang tua yang sakit di pengungsian pun bisa kita atasi,” kata Bejo.
Berbekal kekerabatan
Inilah kisah betapa efektifnya peran HT untuk meminimalkan korban. Sabtu (19/3) dan Selasa (22/3) lalu, banjir lahar dingin menerjang beberapa dusun di Kecamatan Cangkringan dan Ngemplak, Sleman, yang berada di sepanjang Kali Gendol dan Kali Opak.
Begitu mendengar lahar dingin menerjang Dusun Jaranan, puluhan relawan Saluran Komunikasi Sosial Bersama kemudian menuju lokasi untuk melakukan evakuasi. Tiga warga setempat yang mengalami luka bakar akibat terendam lahar berhasil dievakuasi dengan cepat meski 133 rumah penduduk rusak berat dan tak bisa dihuni.
Pagi harinya, para relawan kembali datang untuk melakukan evakuasi sekitar 15 sepeda motor di rumah yang tertimbun lahar dingin.
”Setiap mendengar informasi ancaman lahar dingin melalui HT, kami langsung menuju lokasi. Semua kami lakukan dengan sukarela. Tidak perlu ada bayaran,” kata Tono, salah seorang relawan.
Semangat untuk tetap hidup juga terlihat dari warga yang rumahnya terendam lahar dingin. Meski permukiman mereka hancur, warga kemudian berkumpul membuat dapur umum bersama.
Selang lima hari setelah lahar dingin mengempaskan bangunan rumahnya, Sri Sumiati (30), warga Tambakan, Desa Sindumartani, Ngemplak, akhirnya tinggal bersama puluhan pengungsi lain di Balai Desa Sindumartani. ”Kabarnya nanti kami juga akan disediakan selter. Sembari menunggu, kami bertahan dulu bersama-sama di balai desa,” ucapnya.
Lewat informasi dari HT pula, warga yang bermukim di pinggiran Kali Code, Kota Yogyakarta, selamat dari banjir lahar dingin. Meski 1.191 rumah sempat terendam pada Sabtu, semua penghuni yang jumlahnya 4.369 orang selamat dan mengungsi di posko-posko serta rumah tetangga yang lokasinya lebih tinggi.
Lebih dari itu, yang menyelamatkan warga Code adalah adanya kelompok-kelompok sadar lingkungan yang memang sudah lama terbentuk. Kelompok-kelompok yang menamakan diri Merti Code (Memelihara Code) ini yang selalu siap sedia secara bergiliran mengawasi Kali Code. Begitu banjir datang, langkah evakuasi cepat dilakukan.
Haryanto (57), Ketua RW 3 Ledok Tukangan, Kelurahan Tegal Panggung, Danurejan, Yogyakarta, misalnya, selalu menenteng HT ke mana pun pergi. setiap kali turun hujan deras di lereng Merapi, ia segera menginformasikan kepada warga.
Penghijauan
Kondisi Merapi pascaerupsi memang mendesak untuk dihijaukan. Setiap akhir pekan memang ada saja kelompok-kelompok masyarakat, entah organisasi, yayasan, perusahaan besar, atau instansi pemerintah, silih berganti menanam pohon.
Sayangnya, gerakan itu sepertinya kurang terkoordinasi. Mereka menanam dan terus pergi. Padahal, setelah ditanam tentu saja pohon perlu dirawat, dipelihara.
Kepala Desa Kepuharjo Heri Suprapto mengatakan, daripada buat menanam pohon dan mati, lebih baik dana itu untuk membantu warga yang saat ini harus berswadaya membangun tanggul darurat.
Bagaimana dengan pemerintah? Pemda Sleman memang mengeluarkan dana Rp 40 miliar untuk melakukan pengerukan dan normalisasi sungai-sungai yang berhulu di Merapi, tetapi itu belum cukup….
Coba simak percakapan lewat perangkat komunikasi komunitas ini pada suatu hari:
”Kontek…kontek. Kalau nganggur, saya harap datang ke rumah…. Aku minta bantuan membersihkan rumah…. Ganti”
”Korek dikopi. Oke aku datang. Siap meluncur….”
Atau berikut ini:
”Aku butuh air, mau cari pinjaman mobil tangki, sekarang operasional di mana ya? Kasihan warga nanti tidak bisa minum…. Ganti….”
”Korek…. Kamu bisa menghubungi unit mobil PU (Pekerjaan Umum)…. Atau ke kelurahan, tanya mobil tangkinya sedang operasi di mana…. Gitu ganti…..”
Percakapan semacam itu kini sangat lazim di kalangan warga bila kita membuka gelombang- gelombang HT milik warga lereng Merapi. Ya, HT yang semula berfungsi untuk memonitor perkembangan teknis dan visual Gunung Merapi, kini menjadi alat komunikasi yang sifatnya memberdayakan warga.
Mulai dari informasi soal kerja bakti, undangan gotong royong, bahkan membicarakan bagaimana warga harus bersikap dalam mengatasi derita akibat letusan Merapi dan banjir lahar dingin.
HT bahkan seperti sudah menggantikan fungsi komunikasi tradisional kentongan yang sangat efektif saat Merapi meletus November 2010 lalu. HT bukan lagi barang mewah, te- tapi sudah menjadi barang kebutuhan.
Hampir semua warga Merapi, seperti di desa-desa di Kecamatan Cangkringan, Kaliurang, dan Turi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, bahkan juga di Kecamatan Dukun, Srumbung, Muntilan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, memiliki HT. Hebatnya lagi, hampir semua HT tersebut dibeli atas dana swadaya masyarakat meski ada sebagian bantuan dari donatur.
Inilah bentuk swadaya yang luar biasa dari masyarakat seputaran lereng Merapi dalam menjaga diri atas bencana Merapi. Meskipun harga HT relatif mahal, sekuat tenaga warga berusaha memiliki karena dari benda itulah warga seperti bisa menitipkan nasib hidupnya. Dari situ pula, informasi tentang kondisi Merapi cepat diperoleh.
”Pada letusan Merapi yang dulu-dulu, pesawat HT memang belum banyak. Namun, setelah letusan dahsyat Merapi, kepemilikan HT di desa kami meningkat. Mungkin 50 persen masyarakat di desa kami mempunyai HT,” kata Bejo, warga Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan.
Memang, semula HT ini digunakan warga untuk memonitor perkembangan Merapi dari stasiun induk di Balerante maupun Turgo Asri. Dari dua stasiun induk HT itulah, warga mendapatkan informasi tentang perkembangan teknis dan visual menyangkut kondisi Merapi. Namun, kini warga tidak selalu harus memancarkan HT-nya ke Turgo Asri atau Balerante. Banyak warga yang membentuk kelompok-kelompok kecil dan membuat gelombang sendiri.
Dalam kelompok-kelompok kecil tersebut, mereka saling berkomunikasi sambil tetap memonitor induk Balerante dan Turgo Asri. Di dalam kelompok-kelompok kecil itulah terjadi musyawarah yang lebih detail dan operasional bagaimana mereka bersikap menghadapi banjir lahar dingin misalnya.
”Besok ada kerja bakti, siapa yang memiliki karung-karung pasir untuk membendung daerah-daerah yang terkena banjir lahar dingin selalu terjawab. Bahkan ada orang tua yang sakit di pengungsian pun bisa kita atasi,” kata Bejo.
Berbekal kekerabatan
Inilah kisah betapa efektifnya peran HT untuk meminimalkan korban. Sabtu (19/3) dan Selasa (22/3) lalu, banjir lahar dingin menerjang beberapa dusun di Kecamatan Cangkringan dan Ngemplak, Sleman, yang berada di sepanjang Kali Gendol dan Kali Opak.
Begitu mendengar lahar dingin menerjang Dusun Jaranan, puluhan relawan Saluran Komunikasi Sosial Bersama kemudian menuju lokasi untuk melakukan evakuasi. Tiga warga setempat yang mengalami luka bakar akibat terendam lahar berhasil dievakuasi dengan cepat meski 133 rumah penduduk rusak berat dan tak bisa dihuni.
Pagi harinya, para relawan kembali datang untuk melakukan evakuasi sekitar 15 sepeda motor di rumah yang tertimbun lahar dingin.
”Setiap mendengar informasi ancaman lahar dingin melalui HT, kami langsung menuju lokasi. Semua kami lakukan dengan sukarela. Tidak perlu ada bayaran,” kata Tono, salah seorang relawan.
Semangat untuk tetap hidup juga terlihat dari warga yang rumahnya terendam lahar dingin. Meski permukiman mereka hancur, warga kemudian berkumpul membuat dapur umum bersama.
Selang lima hari setelah lahar dingin mengempaskan bangunan rumahnya, Sri Sumiati (30), warga Tambakan, Desa Sindumartani, Ngemplak, akhirnya tinggal bersama puluhan pengungsi lain di Balai Desa Sindumartani. ”Kabarnya nanti kami juga akan disediakan selter. Sembari menunggu, kami bertahan dulu bersama-sama di balai desa,” ucapnya.
Lewat informasi dari HT pula, warga yang bermukim di pinggiran Kali Code, Kota Yogyakarta, selamat dari banjir lahar dingin. Meski 1.191 rumah sempat terendam pada Sabtu, semua penghuni yang jumlahnya 4.369 orang selamat dan mengungsi di posko-posko serta rumah tetangga yang lokasinya lebih tinggi.
Lebih dari itu, yang menyelamatkan warga Code adalah adanya kelompok-kelompok sadar lingkungan yang memang sudah lama terbentuk. Kelompok-kelompok yang menamakan diri Merti Code (Memelihara Code) ini yang selalu siap sedia secara bergiliran mengawasi Kali Code. Begitu banjir datang, langkah evakuasi cepat dilakukan.
Haryanto (57), Ketua RW 3 Ledok Tukangan, Kelurahan Tegal Panggung, Danurejan, Yogyakarta, misalnya, selalu menenteng HT ke mana pun pergi. setiap kali turun hujan deras di lereng Merapi, ia segera menginformasikan kepada warga.
Penghijauan
Kondisi Merapi pascaerupsi memang mendesak untuk dihijaukan. Setiap akhir pekan memang ada saja kelompok-kelompok masyarakat, entah organisasi, yayasan, perusahaan besar, atau instansi pemerintah, silih berganti menanam pohon.
Sayangnya, gerakan itu sepertinya kurang terkoordinasi. Mereka menanam dan terus pergi. Padahal, setelah ditanam tentu saja pohon perlu dirawat, dipelihara.
Kepala Desa Kepuharjo Heri Suprapto mengatakan, daripada buat menanam pohon dan mati, lebih baik dana itu untuk membantu warga yang saat ini harus berswadaya membangun tanggul darurat.
Bagaimana dengan pemerintah? Pemda Sleman memang mengeluarkan dana Rp 40 miliar untuk melakukan pengerukan dan normalisasi sungai-sungai yang berhulu di Merapi, tetapi itu belum cukup….
0 komentar for Mitigasi Lewat HT Pascaerupsi Merapi